Kamis, 25 September 2008

Kisah Batu dan Pohon Ara (Sebuah Renungan)

Alkisah pada suatu saat di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang
saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya. Di antara debu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara. Tepat di tengah rombongan itu tampaklah pria berjanggut, berkain panjang dan bersorban ditemani seorang anak usia belasan tahun. Kedua berpakaian indah menawan. Dialah sang Saudagar bersama anak semata wayangnya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang mewah berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum bau mur tersebar di mana-mana. Sungguh kereta yang mahal.


Iring-iringan barang, orang dan hewan yang panjang itu berjalan perlahan,
dalam kawalan ketat para pengawal. Rombongan itu bergerak terus hingga pada suatu saat mereka di sebuah tanah lapang berpasir. Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya.


"Bapa, mengapa tampak olehku bebatuan dengan teratur di sekitar daerah ini. Apakah gerangan semua itu?"

"Baik pengamatanmu, anakku," jawab Ayahnya, "bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang memiliki hikmat, semua itu akan tampak berbeda".


"Apakah yang dilihat oleh kaum cerdik cendikia itu, Bapa?, tanya anaknya kembali. "Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang Hikmat berseru-seru di pinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris ajakan itu."


"Apakah Bapa akan menjelaskan perkara itu padaku?"

"Tentu buah hatiku", sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya.
"Dahulu, ketika aku masih belia, hal inipun menjadi pertanyaan di hatiku.
Dan kakekmu, menerangkan perkara yang sama, seperti saat ini aku menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama. Di balik batu itu ada sebuah kehidupan.


Masing-masing batu yang tampak olehmu sebenarnya sedang menindih sebuah biji pohon ara."


"Tidakkah benih pohon ara itu akan mati karena tertindih batu sebesar itu Bapa?"

"Tidak anakku. Sepintas lalu memang batu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara. Tetapi justru batu yang besar itulah yang membuat pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kau lihat di tepi jalan kemarin."

"Bilakah hal itu terjadi bapa?"

"Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melakukan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Sampai beberapa wakut kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan di atas permukannya, tetapi di bawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunasnya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya. Demikianlah pohon ara itu hidup.


Dan hampir di setiap pohon ara akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya.

Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar."

"Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa?" tanya anaknya. Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya.

"Benar anakku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu,
merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagimu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih mati oleh bebatuan itu, Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Kkhalik untuk dapat menyingkirkan batu di atasnya, bagaimana dengan kita ini. Dan Yang Maha Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk di muka bumi ini. Perhatikanlah kata-kata ini anakku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjdi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidupm ini.


Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita.


Dikutip Dari Warta Santo Matius Bintaro

Sabtu, 20 September 2008

Seorang Raja dan ke-4 Istrinya

Dahulu kala...
Ada seorang raja yang mempunyai 4 isteri. Raja ini sangat mencintai isteri keempatnya dan selalu menghadiahkannya pakaian-pakaian yang mahal dan memberinya makanan yang paling enak. Hanya yang terbaik yang akan diberikan kepada sang isteri.
Dia juga sangat memuja isteri ketiganya dan selalu memamerkannya ke pejabat-pejabat kerajaan tetangga. Itu karena dia takut suatu saat nanti, isteri ketiganya ini akan meninggalkannya.

Sang raja juga menyayangi isteri keduanya. Karena isterinya yang satu ini merupakan tempat curahan hatinya, yang akan selalu ramah, peduli dan sabar terhadapnya. Pada saat sang raja menghadapi suatu masalah, dia akan mengungkapkan isi hatinya hanya pada isteri ke duakarena dia bisa membantunya melalui masa-masa sulit itu.
Isteri pertama raja adalah pasangan yang sangat setia dan telah memberikan kontribusi yang besar dalam pemeliharaan kekayaannya maupun untuk kerajaannya. Akan tetapi, si raja tidak peduli terhadap isteri pertamanya ini meskipun sang isteri begitu mencintainya, tetap saja sulit bagi sang raja untuk memperhatikan isterinya itu.

Hingga suatu hari, sang raja jatuh sakit dan dia sadar bahwa kematiannya sudah dekat.
Sambil merenungi kehidupannya yang sangat mewah itu, sang raja lalu berpikir, 'Saat ini aku memiliki 4 isteri disampingku, tapi ketika aku pergi, mungkin aku akan sendiri'.
Lalu, bertanyalah ia pada isteri keempatnya, 'Sampai saat ini, aku paling mencintaimu, aku sudah menghadiahkanmu pakaian-pakaian yang paling indah dan memberi perhatian yang sangat besar hanya untukmu. Sekarang aku sekarat, apakah kau akan mengikuti dan tetap menemaniku?'
'Tidak akan!' balas si isteri keempat itu, ia pun pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

Jawaban isterinya itu bagaikan pisau yang begitu tepat menusuk jantungnya.
Raja yang sedih itu kemudian berkata pada isteri ketiganya, 'Aku sangat memujamu dengan seluruh jiwaku. Sekarang aku sekarat, apakah kau tetap mengikuti dan selalu bersamaku?'
'Tidak!' sahut sang isteri. 'Hidup ini begitu indah! Saat kau meninggal, akupun akan menikah kembali!'

Perasaan sang rajapun hampa dan membeku.
Beberapa saat kemudian, sang raja bertanya pada isteri keduanya, ' Selama ini, bila aku membutuhkanmu, kau selalu ada untukku. Jika nanti aku meninggal, apakah kau akan mengikuti dan terus disampingku?'
'Maafkan aku, untuk kali ini aku tidak bisa memenuhi permintaaanmu!' jawab isteri keduanya. 'Yang bisa aku lakukan, hanyalah ikut menemanimu menuju pemakamanmu.'
Lagi-lagi, jawaban si isteri bagaikan petir yang menyambar dan menghancurkan hatinya.

Tiba-tiba, sebuah suara berkata: 'Aku akan bersamamu dan menemanimu kemanapun kau pergi.' Sang raja menolehkan kepalanya mencari-cari siapa yang berbicara dan terlihatlah olehnya isteri pertamanya. Dia kelihatan begitu kurus, seperti menderita kekurangan gizi.
Dengan penyesalan yang sangat mendalam kesedihan yang amat sangat, sang raja berkata sendu, 'Seharusnya aku lebih memperhatikanmu saat aku m asih punya banyak kesempatan!'


Dalam realitanya, sesungguhnya kita semua mempunyai '4 isteri' dalam hidup kita....

'Isteri keempat' kita adalah tubuh kita. Tidak peduli berapa banyak waktu dan usaha yang kita habiskan untuk membuatnya terlihat bagus, tetap saja dia akan meninggalkan kita saat kita meninggal.

Kemudian 'Isteri ketiga' kita adalah ambisi, kedudukan dan kekayaan kita. Saat kita meninggal, semua itu pasti akan jatuh ke tangan orang lain.

Sedangkan 'isteri kedua' kita adalah keluarga dan teman-teman kita. Tak peduli berapa lama waktu yang sudah dihabiskan bersama kita, tetap saja mereka hanya bisa menemani dan mengiringi kita hingga ke pemakaman.

Dan akhirnya 'isteri pertama' kita adalah jiwa, roh, iman kita, yang sering terabaikan karena sibuk memburu kekayaan, kekuasaan, dan kepuasan nafsu. Padahal, jiwa, roh, atau iman inilah yang akan mengikuti kita kemanapun kita pergi.

Jadi perhatikan, tanamkan dan simpan baik-baik dalam hatimu sekarang!
Hanya inilah hal terbaik yang bisa kau tunjukkan pada dunia.


Sumber : unknown…just from forward email

Senin, 08 September 2008

Anak-anakmu



Kahlil Gibran.
Cinta-Keindahan-Kesunyian, hal. 194-195.
Yayasan Bentang Budaya


Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan
yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi
bukan pikiranmu

Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan
jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal dirumah hari esok, yang
tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba
menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula
berada dimasa lalu


Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu
menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan
Ia meregangkanmu dengan kekuatannya
sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur
dengan cepat dan jauh

Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai
kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang
terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah
meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.

On Children
by Kahlil Gibran


Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.

You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.

You are the bows from which your children
as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
and He bends you with His might
that His arrows may go swift and far.
Let our bending in the archer's hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also the bow that is stable.

T A N A H


Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya. - Matius 13:24

Tanah tidak pernah memilih benih. Tanah tidak mempedulikan apa yang bakal kita tanam. Jika kita menaburnya dengan benih padi, tanah akan merespon benih itu dan menumbuhkannya. Demikian juga jika kita menaburnya dengan rumput teki, gulma liar atau tanaman-tanaman pengganggu lainnya, tanah juga tidak mempedulikannya melainkan akan merespon benih itu dan menumbuhkannya juga.

Sebagaimana tanah akan merespon dan menumbuhkan setiap benih tanpa membeda-bedakan benih apakah itu, demikian juga halnya dengan pikiran kita. Pikiran kita seperti tanah yang akan menerima, merespon dan menumbuhkan hal apapun juga, tidak peduli hal yang baik maupun hal yang buruk. Tidak peduli itu membawa kita kepada keberhasilan atau sebaliknya membawa kita kepada kemerosotan.

Apa yang kita tanamkan dalam pikirkan akan sangat mempengaruhi kehidupan kita. Jika kita menanamkan ke dalam pikiran, perkataan-perkataan negatif seperti ini : aku tidak bisa, aku tidak mampu, ini tidak mungkin berhasil, aku sangat payah, aku memang ditentukan hidup miskin, aku akan kalah, dsb., maka hal-hal negatif tersebut akan direspon oleh pikiran kita dalam bentuk sikap dan tindakan, yang kemudian hasilnya akan menjadi sama persis seperti apa yang kita tanam. Sebaliknya jika kita menanamkan ke dalam pikiran, hal-hal yang positif, antusiasme, hal-hal yang benar, dsb., maka pikiran juga akan merespon hal tersebut ke dalam sikap dan tindakan kita sehingga akhirnya hidup kita menjadi berhasil.

Intinya, benih awal yang kita tanamkan ke dalam pikiran akan menentukan hasil akhir dari hidup kita. Itu sebabnya kita perlu hati-hati dan hanya akan menanamkan hal-hal yang positif saja dalam pikiran kita. Pikiran kita seperti komputer yang akan patuh dan siap melakukan tepat apa yang kita suruhkan. Jangan lupa bahwa pikiran kita tidak mempedulikan perintah apa yang kita berikan. Jadi, inilah alasan mengapa kita perlu memprogram pikiran kita dengan hal-hal yang positif. Pikiran kita seperti tanah yang akan menerima semua benih dan menumbuhkannya.


(Kwik)

» Renungan ini diambil dari Renungan Harian Spirit